REHAT – Terkait isu difabel sebagai SDM yang unggul, difabel Indonesia sudah membuktikan dalam banyak hal. Salah satunya adalah prestasi yang ditorehkan oleh atlet Indonesia dalam gelaran Asian Para Games 2018. Dari seluruh negara di Asia, Indonesia berhasil menempati peringkat ke lima setelah Cina, Korea Selatan, Iran dan Jepang. Total, Indonesia memperoleh 37 emas, 47 perak dan 51 perunggu.
SDM unggul bisa menjadi motor penggerak, lewat pendidikan yang berkualitas bangsa ini bisa terbebas dari kemiskinan dan pengangguran. Artinya, difabel yang selama ini memiliki proporsi besar sebagai masyarakat yang rentan terhadap kemiskinan juga harus mendapatkan kesempatan untuk menjadi SDM yang unggul.
Demikian dikatakan Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP), Sunarman Sukamto,Kamis (29/8).
Ia menyebut, untuk mengatasi masalah kemiskinan di suatu negara, pendidikan merupakan salah satu indiaktor terutama negara berkembang. Dengan pendidikan yang berkualitas diyakini mampu mengakomodir kepentingan semua kalangan. Tak hanya itu jug mampu menghadirkan apa yang disebut dengan produktifitas dan tingkat kompetitif yang tinggi.
“Pencapaian ini menjadi satu bukti kuat bahwa ketika berbicara tentang SDM yang unggul, pemerintah juga harus menghitung dan melibatkan difabel didalamnya. Artinya jika dalam suatu pembangunan tidak melibatkan difabel dan masyarakat marjinal lainnya dalam pembangunan SDM unggul sama saja mengkhianati UUD 1945 yang mengamanatkan penghormatan akan hak asasi manusia.”ungkap Sunarman.
Lanjutnya, data dari Bappenas, 15,8 juta orang miskin yang ada di Indonesia tinggal di pedesaan, sementara hanya 10.14 juta orang miskin saja yang berada di area perkotaan. Sebagian difabel berada dalam angka-angka itu kerena difabel memang rentan terhadap kemiskinan. Melalui Bappenas, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah merumuskan strategi pengentasan kemiskinan.
“Salah satunya adalah meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar yang berkualitas. Di desa, dengan kondisi geografis yang beragam, banyak difabel yang sulit mendapatkan pelayanan dasar yang berkualitas. Selain karena faktor aksesibilitas, persepsi masyarakat dan pemberi layanan dasar di desa dan kecamatan juga menghambat akses difabel dalam mendapatkan pelayanan dasar yang optimal,” terangnya.
Lanjutnya, pelayanan dasar yang optimal untuk mewujudkan SDM difabel yang unggul yakni sektor pendidikan, selain itu pencatatan kependudukan, kesehatan, air sanitasi serta listrik. Masyarakat di Indonesia timur menghadapi tantangan yang lebih berlapis.
Bayangkan seorang difabel di Indonesia timur yang mengalami keminiman akses pelayanan dasar yang berlapis karena difabel yang berada di daerah terpencil. Tantangan akan semakin bertambah ketika ia adalah seorang perempuan. Padahal pelayanan dasar yang berkualitas adalah hulu dari pembangunan SDM yang berkualitas pula.
“Artinya, untuk menjadi Indonesia yang merdeka berarti harus kembali kepada UUD 1945 Sebagai negara yang menghargai kemerdekaan penduduknya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, diskriminasi dan stigma difabel yang selama ini diterima baik terkait regulasi pemerintah maupun penerimaan masyarakat di akar rumput sesungguhnya menjauh dari isi UUD 1945 yang menjadi dasar dari hadirnya UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-Undang ini memang berdasar beberapa pasal yang ada di UUD 1945,” bebernya.
Lebih jauh Sunarman menjelaskan, Jika berbicara mengenai realitas difabel yang terstigma dan terdiskriminasi, realitas ini tidak sesuai dengan pasal 28 H ayat 2 tentang hak difabel sebagai manusia Indonesia untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pada UUD 1945 pasal 28I ayat 2 juga menyebutkan perlindungan manusia Indonesia dari diskriminasi atas dasar apa pun dan manusia Indonesia berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.
Jika mengaplikasikan nilai dari pasal ini, harusnya diskriminasi yang dialami difabel dalam segala aspek kehidupan adalah sebuah tindakan yang melawan Undang-undang. Perlindungan ini juga harus datang dari pemerintah seperti isi pasal 28I ayat 4 dan 5, bukan malah dilakukan oleh pemerintah atau pun unsur yang mewakili pemerintah.
Kadang difabel juga sering kesulitan ketika berhadapan dengan hukum, juga sering menjadi korban kekerasan baik fisik maupun seksual, realitas seperti ini jauh dari pasal 28I ayat 1 tentang hak hidup, hak merdeka dan hak diakui secara pribadi dihadapan hukum.
“Hak atas diri secara utuh sebagai hak asasi manusia juga mencerminkan pasal 28 J ayat 1 dan 2 yang memandatkan penghormatan hak asasi manusia kepada seluruh lapisan bangsa Indonesia termasuk manusia di dalamnya. Selain itu, pasal 2 terutama juga mengamanatkan penghormatan akan hak dan kebebasan orang lain sesuai dengan prinsip nilai negara yang demokratis.”ungkapnya
Sunarman kembali menerangkan, Reformasi pendidikan juga digalakkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era pemerintahan Jokowi, Muhadjir Effendy menghadirkan paradigma sistem pendidikan baru bernama sistem zonasi untuk mengupayakan pemerataan pendidikan bagi setiap kalangan.
Sistem ini sempat memudahkan difabel dalam mencari sekolah karena mereka sekarang tidak harus bersekolah di sekolah khusus atau sekolah yang jauh jaraknya dari rumah. Namun, penerapan kuota difabel dan kesetengahatian sekolah dalam menerima siswa difabel juga bisa menjadikan sistem zonasi ini juga belum berhasil dalam menghadirkan kesempatan mengenyam pendidikan bagi semua kalangan. Padahal sistem zonasi ini juga menjadi penggerak pembangunan sumber daya manusia yang menjadi visi Bapak Jokowi untuk lima tahun ke depan.
“Pada tingkatan perguruan tinggi, terbatasnya jumlah perguruan tinggi inklusif yang menerima calon mahasiswa difabel juga menjadi pekerjaan rumah besar dalam diskursus difabel di Indonesia. Perguruan tinggi yang inklusif menjadi penting karena Jokowi menegaskan bahwa salah satu kunci SDM yang unggul berasal dari perguruan tinggi yang mampu menelurkan SDM yang mampu bersaing di kancah regional dan global.”imbuhnya.
Sementara, isu startegis dalam hal pemberdayaan bagi difabel tidak hanya masuk dalam visi atau nawacita Presiden Jokowi, namu isu dalam hal pemberdayaan bagi difabel juga masuk dalam visi misi kepemimpinan Dodi-Beni 2017-2022.
Dimana, dalam poin 7 Visi Misi tersebut secara jelas dan tegas memberdayakan perempuan dan melindungi anak serta penyandang disabilitas. (FIZ)