REHAT.CO.ID – Bencana ekologi kebakaran hutan dan lahan (Karhutlah) di Sumsel 2015 ternyata menyisakan dampak kerusakan ekosistem yang cukup besar. Lebih kurang 600 ribu hektar lahan gambut yang terbakar harus direstorasi untuk memulihkan kembali kondisi lahan.
Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Perubahan Iklim, Dr Najib Asmani mengatakan proses pemulihan lahan tersebut memakan proses yang cukup panjang. Tak hanya waktu, restorasi juga menelan anggaran yang tidak sedikit. Upaya restorasi telah dilakukan jajarannya beserta masyarakat pemilik lahan, organisasi lingkungan serta perusahaan pemilik izin pengelolaan hutan.
“Proses perbaikan lahan masih terus berlangsung. Kami telah menerbitkan Perda Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutlah). Di dalam aturan itu, proses restorasi tidak hanya dibebankan ke negara tapi juga perusahaan serta masyarakat yang menguasai dan memanfaatkan lahan,” ujar Najib yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Koordinator Kemitraan Pengelolaan Lanskap Ekoregion (KOLEGA) Sumsel di sela acara Sarasehan Lanskap Nusantara di BKB Resto, kemarin (25/7).
Najib mengungkapkan selain membuat regulasi, langkah nyata Pemprov Sumsel juga dengan mengatur tata muka air. Pengaturan tata muka air ini dimaksudkan untuk membuat lahan gambut tetap basah. Meskipun musim kemarau melanda.
“Kami telah membuat 300 titik sumber air serta 250 sekat kanal. Jumlah itu masih sedikit ketimbang lahan yang harus direstorasi. Tetapi, pihaknya juga dibantu oleh perusahaan pemilik lahan,” katanya.
Diungkapkannya, perusahaan tidak hanya bertanggung jawab menjaga lahan kosensinya dari Karhutlah. Tapi juga lahan-lahan di sekitarnya sejauh 5 km. “Mau tidak mau, suka tidak suka, perusahaan yang membuka usaha perkebunan harus memenuhi kewajiban itu. Dengan sendirinya, perusahaan akan mengajak masyarakat sekitar untuk sama-sama menjaga lahan,” tuturnya.
Menurutnya, perusahaan juga diwajibkan membuat kawasan ekosistem yang dilindungi (konservasi) sebesar 30 persen dari total luasan lahan yang digarapnya. “Lahan konservasi tersebut harus dijaga kelestaariannya. Apabila kewajiban-kewajiban ini dilanggar, maka perusahaan bakal mendapat sanksi. Baik administrasi maupun pidana,” ucapnya.
Dijelaskan Najib, permukaan tanah yang lembab bisa menjaga kandungan tanah tetap basah sehingga tidak menjadi pemicu api. Pengelolaan lahan gambut juga tidak boleh melebihi kedalaman 3 meter. Sebab, bisa mengakibatkan kekeringan di lahan sekitarnya. Persoalannya, tanaman industri seperti akasia, karet dan sawit bisa berproduksi dengan baik jika ditanam di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter.
“Pembakaran lahan gambut juga membuat unsur hara yang ada di lahan permukaan terbentuk. Sehingga membuat tanah menjadi subur. Motif inilah yang sering memicu pemilik lahan untuk melakukan pembakaran,” bebernya.
Melalui pendekatan lanskap, kelestarian lingkungan terus didorong baik oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Sebab, perlindungan lahan gambut tidak akan berjalan tanpa pola kemitraan dari seluruh pihak. “Motifnya kita sudah tahu. Membakar lahan gambut karena prosesnya murah dan mudah. Ini harus kita hilangkan dengan inovasi dan terobosan di bidang keilmuan. Bagaimana membuat lahan subur tanpa membakar. Pengelolaan lahan gambut yang baik seperti apa. Jika terobosan tersebut diaplikasikan dan mendapat keuntungan, maka seluruh pihak tidak akan lagi mengambil jalan pintas dengan cara membakar,” tukasnya. (JAY)