Beranda Sumsel 2160 Hektare Lahan Padi di Sumsel Alami Kekeringan

2160 Hektare Lahan Padi di Sumsel Alami Kekeringan

REHAT – Sebanyak 2.160,75 hektare tanaman padi di Sumatera Selatan (Sumsel) mengalami kekringangan akibat dampak buruk di Musim kemarau.

Dari jumlah tersebut penyumbang terbesar terdapat di Kabupaten Musi Rawas yang mencapai 1.432 hektare lahan yang kekeringan.

“Memang sebanyak 2 ribu hektar lahan sawah ada yang kekeringan, akan tetapi masuk kategori ringan,” kata Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Sumsel, Tuti Murti, Minggu (1/9).

Tuti mengatakan bahwa sebagian besar lahan sawah yang mengalami kekeringan jenisnya sawah tadah hujan, dan ada juga lahan irigasi.

“Itu penyebabnya, kondisi iklim di Sumsel yang mulai memasuki kemarau sehingga membuat curah hujan  berkurang,  debit air sungaipun mengecil sehingga untuk wilayah-wilayah yang jauh dari sungai airnya tidak mencukupi,“ ungkapnya.

Namun sebagian besar sawah yang terkena kekeringan tersebut hampir panen, sementara di beberapa wilayah lahan yang mengalami kekeringan sudah diantisipasi petani dengan  ditanami tanaman palawija.

“Saat ini, petani menanam tanaman lain yang tidak membutuhkan air yang banyak,” ungkapnya.

Walaupun begitu Tuti mengungkapkan, saat ini pihaknya terus melakukan upaya antara lain dengan memanfaatkan pompa air bantuan pemerintah baik yang ada di kelompok, brigade Alsin kabupaten/provinsi untuk wilayah-wilayah yang masih tersedia sumber airnya,  juga   pembuatan sumur bor, long storage dan embung. “Sehingga petani tidak kehilangan sumber pengairan untuk persawahannya,” ungkapnya.

Total lahan sawah di Sumsel saat ini mencapai 739.395 hektare. Terdiri dari 124.389 hektare lahan sawah irigasi, 92.792 hektare lahan tadah hujan, 255.921 lahan pasang surut dan 266.293 hektar lahan rawa lebak.

“Jadi walaupun mengalami kekeringan nantinya tidak akan terdampak terhadap produksi padi. Karena hanya sebagian kecil dari total lahan sawah di Sumsel,” bebernya.

Selain itu untuk mengantisipasi lahan kering akibat musim kemarau,  Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel juga terus melakukan antisipasi dengan pembuatan sumur bor sebagai sumber air.

“Untuk mengatasi itu (kekeringan) kami melakukan mobilisasi alat pompa di daerah yang berpotensi kekeringan dan juga di daerah yang debit sungainya mulai berkurang,” ujar pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hotikultura Provinsi Sumsel, Antoni Alam di Palembang, Kamis (29/8).

Bukan itu saja, pihaknya pun membimbing petani di Sumsel untuk mengatur pola tanam. Dia menyebut, pada saat cuaca kering, lahan bisa dimanfaatkan untuk menanam tanaman yang berumur pendek. “Ya contohnya seperti cabe, kacang panjang, dan tanaman lainnya,” kata dia.

Dia menjelaskan, jika secara umum, cuaca kemarau di wilayahnya masih masuk kategori kemarau basah. Artinya hujan masih turun di sebagian besar wilayah, walau intensitasnya tidak terlalu besar.

“Karena faktor cuaca yang masih hujan dan lahan pertanian kita 50 persennya berada di lahan rawa lebak pasang surut yang sumber airnya melimpah,” ungkap dia.

Antoni juga menambahkan, sebagian besar lahan pertanian di wilayah rawa lebak saat ini memasuki musim tanam IP300 dan pertumbuhannya juga masih normal. “Airnya masih ada sehingga pertumbuhannya juga baik,” ucap dia.

Menurut dia, beberapa wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan berada di dataran rendah. Seperti Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dan sebagian wilayah Banyuasin. Tetapi, lanjut dia, di kawasan tersebut saat ini belum memulai tanam padi.

“Masa tanamnya sekitar bulan Oktober sampai Maret. Ketika hujan sedang turun. Petani-petani di sana saat ini sedang menanam tanaman lain yang bisa dikembangkan di lahan kering seperti cabe,” katanya.

Antoni menjelaskan, untuk lahan cabe, Sumsel memiliki beberapa zona tanam. Yang mana, kata dia, ada di dataran tinggi seperti di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Pagaralam dan Semendo, Muara Enim. Lalu ada juga di lahan kering seperti di Muba dan Banyuasin.

“Untuk di lahan kering, petani di sana sudah mulai panen. Sementara di dataran tinggi, masa panennya sudah berakhir. Jadi tetap tidak mengganggu produktifitas pertanian kita,” pungkasnya.